Cerpen
Pengalaman Hidup
Selamat datang di
blog sederhana ini, Rasanya sudah cukup banyak pengelola mereferensikan Cerpen Pengalaman Hidup pada blog
sederhana ini . Harapan pengelola sangat lah sederhana yaitu para pengunjung
blog sederhana ini akan mendapatkan referensi yang akurat tentang Cerpen
Pengalaman Hidup sehingga akan bermanfaat bagi kita semua
baik itu dalam mengumpulkan resensi cerpen maupun dalam belajar cara
membuat cerpen. Akhir kata saya ucapkan selamat membaca
Pada
referensi kali ini saya akan memberikan contoh cerpen
pengalaman hidup untuk pengunjung blog sederhana ini. Cerpen
pengalaman hidup ini bisa menjadi bacaan yang menarik karena mengandung
pesan pesan yang mendidik tapi juga menggelitik karena bahasa yang di tuliskan
cukup berat untuk di tafsirkan. Cerpen pengalaman hidup ini
berjudul Kopi Perjuangan buah karya dari Azkia asal Jogja. Jika adik adik
pengen tau lebih lengkap tentang penulis cerpen pengalaman hidup ini, adik adik bisa
ngitip facebooknya dengan mencari Facebooknya: Azkya Jamilla.
Oke,
sekarang langsung baca aja Cerpen Pengalaman Hidup yang berjudul kopi
perjuangan ini
Wajah
ayah belum lama murung pada duka yang melata masuk tanpa sapa. Ibu masih sibuk
dengan ekonomi yang tidak seberapa yang selalu ayah hasilkan dari aktornya
menjadi sosok karyawan pengibar gelas-gelas kaca disebuah Universitas. Pagi
berdering bukan karna irama, ini seduhan kopi yang biasa ibu buat di pagi buta.
Bukan karena suara adukan sendok yang terbentur oleh gelas, melainkan aroma
kopi pada yang terguyur air mendidih.
Ayah
bangun dan tersenyum dan beranjak ke arah kopi. “yah, ini kopinya!” sapa ibu di
pagi hari sembari meletakkan kopi pada meja. “Ini seduhan ternikmat yang ke 20
tahun” sambar ayah setelah menyeruput kopi”.
Dua
insan yang sangat dikagumkan, ketika Tuhan telah mendesain dua orang yang
saling terikat kemiskinan, aku masih bangga memanggilnya ayah dalam kenyataan.
Ada pelangi yang selalu bersinar tanpa adanya pasca hujan dalam bongkah rumah
ini. Ini keajaiban yang tidak pernah dimiliki permaisuri kerajaan, ketika haus
mevnjadi tradisi, ketika lapar adalah naluri, mereka berlari seraya tidak
mengiginkan aku menunggu lama. Bu ini permata untuk aku, kelabu ini menjadi
kelemahan tapi dia tidak menjadi anggota warna ketika aku bisa bersyukur dengan
kekelabuan ini.
Pagi
itu sepintas surya masih dalam genggaman Tuhan, Ayah lari dengan seragam
perusahaan dan menggantungkan tanganya digantungan bis, yang semua orang
berminat ketika semua kursi bis telah raib dengan penduduk. Ayah terbiasa
dengan genggaman itu, tapi tenang saja itu ayahku, bukan ayahmu.
Hari
yang selalu spesial untuk Ayah, ketika milyaran bubuk kopi dan bubuk teh
menjadi ribuan keberuntungan yang selalu ia peroleh dari aktivitas mengaduk dua
material itu dengan seduhan air mendidih, itu hal yang panas ketika ayahku
mengaduk puluhan air minum yang panas yang dilakukan lebih dari satu kali dalam
sehari, ini bisa menjadi ribuan gelas dan beratus kali adukan dalam menitnya.
Hal itu yang menjadikanku seorang mahasiswa yang mengerti bukan hanya kertas
dan pena dalam kelas namun mengerti pula arti sendok dan gelas yang menjadikan aku dapat mengenal arti kertas dan pena.
Panas itu pasti tidak terasa ketika
ia mengangkat gelas dan dipindah ke nampan, hal serupa juga dirasakan ayah
ketika ia memanggul puluhan gelas diatas nampan dan kembali menaruhnya pada
posisi yang sopan untuk dihidangkan. Aku tahu itu hal biasa baginya, dan dia
tahu hal terberat baginya adalah ketika seminim mungkin ibu mengkondisikan
pengeluaran dan biaya kehidupan lain yang tidak memungkin kan dibayar dengan
doa.
Sepatah kata pun tidak sama sekali
keluar dari mulut ayah, atau tidak sama sekali ia pikirkan kemiskinan ini, dan
dalam mungkin saja dalam doanya ia tak memikirkan kenapa Tuhan menghidangkan
sedikit keterpurukan ini. Itu ayahku berdiri tanpa sanggahan memikul tanpa
beban dan berbaring tanpa sandaran bukan berarti ia bekerja tanpa alasan.
Ayah pulang dengan bergandeng senja
meniup malam, aku mengintipnya dari kejauhan bibir pintu, kepalanya menunduk,
tangannya memegang tas. Kakinya kotor, akibat berlarian berebut masuk kedalam
bis, al hasil kaki ayah terinjak-injak. “yah” aku menyapanya dengan mata
berkaca-kaca. “ini ayah belikan pisang goreng kulit lumpia kesukaanmu” balas
ayah sembari mengusap kepalaku. kisah ayah tidak memupuskan harapanku,
kehidupanya membuat alam tahu bahwa ia adalah malaikat yang menyelimuti
keluarga tanpa putus asa. Malam itu cepat berlalu, hujan pun sibuk membasahi
wahana yang akan kukenakan untuk bercermin di pagi harinya. Ayah teruslah
menjadi pahlawan tanpa nestapa.
Kurang lebih seperti inilah Cerpen
Pengalaman Hidup yang bisa saya share. Semoga bisa menambah
wawasan dan referensi cerpen dari pengunjung blog sederhana ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar